Tak terbantahkan bahwa pendidikan adalah fondasi penting untuk masa depan. Namun, proses belajar yang seharusnya memberi pengalaman positif sering kali menjadi sumber stres bagi siswa. Menurut Dr. Siska Nurhadi, seorang psikolog pendidikan terkemuka di Indonesia, stres akademik pada siswa di usia sekolah bahkan sering kali diakibatkan oleh tekanan yang berlebihan baik dari lingkungan sekolah maupun keluarga. Apa saja penyebab utama dari stres ini, dan apa yang dapat kita lakukan untuk menguranginya?
Salah satu penyebab utama stres adalah beban akademik yang terlalu berat. Dr. Siska menjelaskan bahwa kurikulum yang padat, tuntutan tugas yang tinggi, dan tekanan untuk meraih prestasi akademik tertentu bisa membuat siswa kewalahan. Banyak siswa merasa terjebak dalam rutinitas tugas yang tak ada habisnya, ujian yang sering, dan harapan tinggi dari orang tua serta guru. Ini semua menciptakan sebuah lingkungan di mana mereka merasa harus selalu berada dalam performa terbaik dan tidak boleh gagal.
Yang kedua adalah kurangnya waktu luang dan keseimbangan antara belajar dan aktivitas lain. Banyak siswa yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar dan mengerjakan tugas, sehingga mereka nyaris tidak memiliki waktu untuk beristirahat atau menjalankan hobi mereka. Padahal, menurut penelitian yang dilakukan oleh bidang Kesehatan Mental Anak Universitas Indonesia, beraktivitas di luar belajar adalah esensial untuk keseimbangan emosional dan mental. Kurangnya waktu untuk relaksasi dan kegiatan sosial dapat memperburuk tingkat stres.
Selanjutnya, tekanan sosial dan persaingan antar teman juga menjadi faktor. Dalam lingkungan sekolah, persaingan untuk menjadi yang terbaik kadang kala menciptakan suasana kompetitif yang tidak sehat. Siswa mulai merasa diri mereka tidak cukup baik jika mereka tidak berada di peringkat atas atau tidak mendapatkan nilai sempurna. Fenomena ini lebih diperparah oleh media sosial, di mana siswa bisa merasa dibandingkan dengan teman-teman mereka yang sepertinya selalu 'lebih berhasil'.
Selain itu, faktor lain yang tak kalah penting adalah kurangnya dukungan emosional dari lingkungan sekitar. Dukungan keluarga dan pengasuhan yang baik sangat berperan dalam mengurangi stres pada siswa. Namun sayangnya, banyak orang tua yang tidak menyadari pentingnya memberikan dukungan emosional yang memadai. Mereka lebih fokus pada hasil akademik daripada kesejahteraan emosional anak. Dr. Siska menegaskan bahwa dukungan emosional dan komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak bisa menjadi kunci penting dalam memberikan rasa aman dan mengurangi tingkat stres.
Mengurangi stres pada siswa adalah tanggung jawab bersama antara sekolah, orang tua, dan siswa itu sendiri. Sekolah dapat membantu dengan menyediakan program konseling yang baik, mengurangi beban kurikulum yang terlalu berat, dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih mendukung dan bebas dari tekanan berlebihan. Orang tua juga harus belajar untuk lebih memahami kondisi psikologis anak serta memberi dukungan yang seimbang antara tekanan untuk berprestasi dan kesejahteraan emosional.
Melalui pendekatan yang holistik dan keseimbangan antara tuntutan akademik dan kesejahteraan emosional, kita bisa membantu siswa untuk tidak hanya mencapai prestasi akademik, tetapi juga menjadi individu yang sehat secara mental dan emosional. Semakin kita sadar akan penyebab stres pada siswa, semakin besar kemungkinan kita untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik dan mendukung.
Dengan demikian, memahami sumber-sumber stres pada siswa adalah langkah awal yang sangat penting. Dari situ, kita bisa mulai merancang strategi dan pendekatan yang lebih manusiawi, yang tidak hanya memandang siswa sebagai mesin prestasi, tetapi juga sebagai individu dengan kebutuhan emosional dan mental. Semoga dengan upaya yang konsisten dari berbagai pihak, kita bisa membantu siswa menjalani proses belajar dengan lebih tenang dan bahagia.
Komentar
Posting Komentar
Pertanyaan atau Komentar